KISAH RASUL PAPUA
I. DENGAN NAMA TUHAN KAMI MENGINJAK TANAH INI
Sejak abad ke–15 sampai dengan abad 16 Papua (New Guinea
) pada waktu itu, dibawah kekuasaan pemerintahan Sultan Tidore. Namun Sultan
Tidore tidak mendirikan pemerintahan nya di tanah Papua. Pada tahun 1828
dinyatakan bahwa Papua sebagai bagian Barat dari Jajahan Belanda. Tahun 1898
ditempatkanlah aparat pemerintahan Belanda yang berkedudukan di Manokwari
(Injil telah diberitakan di tanah Papua selama kurung waktu 43 tahun)
Dalam tahun 1848 terbentuk suatu perhimpunan Utusan Tukang di Belanda, yang didirikan oleh Pdt. O.G Heldring. yang tujuan nya adalah mengutus para tukang yang trampil ke daerah – daerah yang masih dalam kegelapan atau kafir. Utusan tukang adalah orang Kristen yang berpengetahuan tukang, tani, pedagang yang dapat bekerja mencari nafkah dan Memberitakan injil. Mereka tidak di gaji hanya di Bantu pelayaran nya ke daerah – daerah tujuan. Mereka ini akan menjadi teladan dan memberi contoh yang baik bagi orang lain untuk hidup Berdikari.
Di Jerman (kota Berlin), bapa Gossner juga membuka Sekolah
dan mendidik para pemuda yang nantinya akan di utus ke negeri—negeri kekafiran
di Asia dan di Afrika termasuk Papua. Di sinilah kedua tokoh penginjil Carl
Ottow dan Johann Gottlob Geissler di bimbing dan dididik menjadi utusan tukang
(Zendeling - Weerkleiding). Yang menjadi tujuan pengutusan kedua penginjil
tersebut adalah Tanah Papua (New Guinea), yang pada saat itu di kenal sebagai
“daerah kekuasaan iblis” karena corak hidup penduduk nya yang jahat yakni suka
berperang dan saling makan memakan antara manusia (cannibalism), perampokan,
pengayauan, perbudakan dan sebagainya.
II. PERINTIS PEKABAR INJIL DI TANAH PAPUA ( 1855 - 1870)
II. PERINTIS PEKABAR INJIL DI TANAH PAPUA ( 1855 - 1870)
Dengan nama Tuhan kami menginjak tanah ini! " Itulah doa pertama yang diucapkan oleh Ottow dan Geissler, kedua perintis pekabar Injil pertama dari Eropah Barat (Jerman), sesaat sesudah keduanya menginjak kaki di pulau Man¬sinam, sebuah pulau kecil di teluk Doreh atau sebelah Timur - laut Manokwari, pada tanggal 5 Februari 1855.
Bagaimana keinginan mereka untuk memberitakan Injil
dengan perjalanan yang jauh ke Papua, ditambah lagi dengan tantangan yang di
alami dalam pekerjaanya di daerah ini, yang hampir saja memupuskan harapan, dan
hasil pekerjaan yang kecil, dibanding dengan pengorbanan yang besar.
1. Masa Persiapan
1. Masa Persiapan
Johann Gottlob, seorang pemuda berusia 17 tahun, oleh ayahnya ia belajar pada seorang tukang perabot di Berlin. Dia suka belajar dan menggabungkan diri dengan sekelompok pemuda, yang sama – sama melakukan sejenis pekerjaan kader. Disitulah Johann belajar banyak dan mengunjungi kawan – kawan nya. Pada suatu pertemuan sending, dimana ia pernah mengikuti “pengutusan dua ", untuk pengutusan sending dua orang yaitu yang disebut : “Sendeling tukang" (Zendelings werk lieden ) yang disponsori oleh bapak Gossner.
Bapak Gossner adalah bekas Imam Roma Katholik yang pada
jamannya sangat Oikumenis pikiran nya, ia sangat keras menentang segala
formalisme, ia sendiri tidak fanatik. Ia memiliki pandangan yang terbuka untuk
dunia luas, dimana Injil be¬Ium dikabarkan. Dia tidak menggabungkan diri dengan
pen¬didikan sendeling pada waktu itu, yang harus belajar sekian lama, sehingga
menurut dia terlaIu intelektualistis, dan ia punya ide untuk mengirim sendeling
“ tukang itu ke daerah - daerah yang belum men¬dengar berita Injil.
Mereka tidak perlu pendidikan tinggi yang memakan banyak
waktu. Orang Kristen yang penuh keyakinan dan dengan dedikasi yang baik, dapat
diutus setelah mengikuti masa persiapan yang pendek, dan seperti rasul Paulus
dapat memelihara hidupnya dengan hasil kerajinan tangan. Sehingga Dalam waktu
senggangnya mereka dapat memberitakan Injil.
Johann Geissier mendengar hal ini, ketika hadir dalam
suatu pertemuan, yang dipimpin oleh bapak Gossner, tentang pekerjaan sending.
Rupanya saat itu Johann memakai pakaian yang agak mencolok, sebab sesudah
`ceramah bapak Goss¬ner berseru kepada pemuda yang hadir dan dia berpaling
kepada Johann : “kau yang berbaju biru, bagaimana dengan mu, apakah kau tidak
tertarik untuk pekerjaan sending?". Karena dikonfrontir didepan banyak
orang, oleh seruan yang langsung ditujukan padanya, Johann menja¬wab': “ya,
namun saya tidak punya kemampuan dan tidak yakin apakah dapat menjadi seorang
sendeling yang baik''.
Akan tetapi Gossner memberanikan dia, sehingga Johann
mengikuti pendidikan. Mula mula dalam waktu senggangnya, dan kemudian ia mulai
serius belajar di rumah bapak Gossner sendiri. Sekarang nyata, bahwa Johann
tidak hanya memperkenalkan dirinya melalui baju birunya, tapi juga melalui
wataknya. Pada tanggal 28 Februari 1852 katika berusia 22 tahun ia diteguhkan
sebagai seorang sendeling, dan demikian menjadi salah satu utusan Gossner.
Di Zetten, tanah Belanda waktu itu tuan O.G Heldering,
yang telah mengadakan kerjasama dengan Gossner setuju akan ide tukang – tukang
Kristen sebagai pekerja sending di ladang Tuhan . Mereka yang pergi ke Hindia
Belanda (Indonesia) ditampung sementara di Zetten, untuk belajar bahasa Belanda
dan dipersiapkan untuk berangkat.
Geissler juga melalui cara ini. Dengan rekan nya
Schneider, dalam bulan maret ia berjalan kaki dari Berlin ke Zetten. Pada
tanggal 25 April 1852 mereka tiba di Zetten. Dalam perjalanan mereka
mengabarkan injil, menyanyi dan mengadakan pertemuan. Nyanyian “ Wo findet die
seele die Heimat , die ruh” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda
menjadi “ Daar ruist langs de wolken “ (Segala benua dan langit penuh Ny Rohani
144) Geissler dan Schneider yang memperkenalkan lagu ini di tanah Belanda.
Rupanya Geissler seorang penghotbah yang menarik, sehingga dalam penginjilan dari
kampung ke kampung dan kota ada tujuh orang pemuda mengaku iman nya dan
bertobat. Ini bila kita lihat selama hampir 15 tahun Geissler bekerja di tanah
Papua ia hanya dapat membabtiskan enam orang, dan itu juga adalah budak – budak
yang telah di tebus oleh nya
Tanggal 25 Juni 1852 Geissler bersama teman – teman nya
di utus ke Zetten dan keesokkan hari nya beranghkatlah mereka dengan kapal “
Abel Tasman”, melalui tanjung Pengharapan hingga ke Batavia (Jakarta) mereka
pada tanggal 7 Oktober 1852.
2. Dari Batavia ke New Guinea
2. Dari Batavia ke New Guinea
Perjalanan pertama telah ditempuh dengan berjalan kaki
dari Berlin ke Zetten dan berlayar ke Hindia Belanda ( Batavia ) . Tanah New
Guinea masih jauh dibalik kaki langit, sebelum ke New Guinea mereka harus minta
ijin dari pemerintah Hindia Belanda dan belajar bahasa Melayu. Di Batavia ada
sebuah Persekutuan Pekabaran Injil ke dalam dan ke luar” yang setia menemani
mereka dengan baik” Schneider menjadi sendeling pedagang, sedangkan Ottow dan
Geissler di persiapkan untuk Tanah New Guinea.
Mereka pernah mendengar bahwa Tanah New Guinea belum ada
pemerintahan , orang masih hidup dalam kegelapan sebagai pemakan manusia
(Kanibal) dan berbagai macam berita yang mereka dengar tentang tanah New Guinea
. Untuk mempersiapkan diri Ottow dan Geissler selama 1 ½ (satu setengah ) tahun
harus mengajar pada sebuah sekolah di dekat Batavia, barulah semua urusan nya
bisa diselesaikan untuk keberangkatan mereka ke sebelah timur Hindia Belanda.
Di Makassar mereka bertemu dengan orang utusan Gossner,
Schneider menyarankan agar sebaiknya mereka mencari nafka sebagai pedagang dari
pada harus berangkat ke New Guinea . Semakin mendekat ke New Guinea banyak
orang menasihatkan agar jangan pergi ke sana sebab disana penduduk nya masih
buas.
Tiba di Ternate mereka menunggu berbulan – bulan. Mereka
mengatakan bahwa mereka tidak dapat membiarkan diri untuk ditakut – takuti oleh
berita – berita yang mengerikan tentang tanah tujuan, banyak orang memberi bantuan
atau dukungan bagi perjalanan mereka.
Semua perlengkapan kedua utusan ini dibayar oleh “ Persekutuan Pekabaran Injil ke dalam dan ke luar “ di tambah dengan sejumlah kecil modal awal untuk usaha mereka yang pertama, yang memberi mereka satu dasar ekonomis yang pada waktu itu cukup yaitu : f 300 (tiga ratus gulden). Ottow dan Geissler mengumpulkan bermacam – macam barang, bahkan beberapa ekor sapi dan ternak kecil di tambah banyak tanaman.
3.Tiba di Mansinam
Semua perlengkapan kedua utusan ini dibayar oleh “ Persekutuan Pekabaran Injil ke dalam dan ke luar “ di tambah dengan sejumlah kecil modal awal untuk usaha mereka yang pertama, yang memberi mereka satu dasar ekonomis yang pada waktu itu cukup yaitu : f 300 (tiga ratus gulden). Ottow dan Geissler mengumpulkan bermacam – macam barang, bahkan beberapa ekor sapi dan ternak kecil di tambah banyak tanaman.
3.Tiba di Mansinam
Bulan Februari 1855 mereka berangkat dari Ternate dengan menumpang kapal layar “ Ternate” Ketika matahari terbit, bayangan gunung Arfak mulai nampak dan teluk yang tenang diiringi nyanyian ombak menghantarkan Perahu layar Ternate yang membawa kedua utusan Injil di teluk Doreh Manokwari, di mana sauh tujuan akan di labuhkan, Hutan yang membisu lagi menyeramkan dan Pulau Mansinam yang menjandi saksi pijakan kaki para hamba Nya untuk pertama kali , “ Dengan Nama Tuhan kami menginjak tanah ini “ Demikianlah Doa sulung ke dua utusan Injil itu ketika tiba di tepi pantai Pulau Mansinam Tanggal 5 Februari 1855. Cahaya dan embun sorgawi turunlah sudah hendak menyinari kekelaman dan kelam kabut Tanah ini. Mereka datang dengan satu tekad bahwa injil Kristus harus disampaikan pada orang Papua.
Tujuan kedua penginjil ini tercapai , Injil Tuhan telah
mencapai tanah kekafiran , namun tantangan mulai terasa. Tak ada seorang pun
yang menyapa mereka, mereka hanya seorang diri, berada di dalam kepercayaan
itu. Orang Mansinam menganggap kedua orang ini berasal dari dunia lain (Dunia
aibu) karena kulit mereka putih.
Banyak kesulitan yang dihadapi kedua zendeling ini,
disebabkan karena, Penduduk Mansinam dan Manokwari belum dapat menerima Ottow
dan Geissler, disebabkan kapercayaan animisme / dinamisme yang kuat Penduduk
juga belum mengerti pekerjaan dan apa tujuan kedatangan kedua utusan tersebut.
Gambaran dari kedua utusan sewaktu di tanah Jerman tentang sistim kehidupan
penduduk New Guinea ternyata jauh berbeda dari apa yang mereka alami saat itu,
penduduk belum memerlukan hasil pertukangan mereka, akhirnya sering terjadi
salah paham dalam pemberitaan injil
Akibatnya Ottow dan Geissler harus bekerja sendiri,
membuka hutan sendiri, membuat rumah sendiri dan banyak pekerjaan lain yang
harus mereka kerjakan sendiri, bahkan apabila mengalami kesakitan dan kesulitan
haruslah berusaha sendiri agar dapat terlepas dari kesulitan tersebut.
4. Apakah mereka benar Manusia ?
4. Apakah mereka benar Manusia ?
Orang Mansinam telah melihat ke dua orang kulit putih
yang tiba di pantai Mansinam itu, sebelum nya mereka hanya melihat dan
mendengar dari jauh tentang manusia kulit putih, namun sekarang mereka datang
dan tinggal bersama mereka.
Kedua penginjil itu menumpang di sebuah gudang tua yang
sudah rusak milik seorang pengusaha kapal. Penduduk Mansinam heran karena ke
dua orang ini mempunyai adat – istiadat yang lain. Mereka juga benar – benar
manusia.
Seorang dukun dari pulau itu yang dianggap sebagai orang
yang paling tahu segala nya, menjelaskan dan menasehatkan orang kampung bahwa
ke dua orang itu adalah orang mati yang bangkit. Jadi orang tidak boleh
mendekati mereka bila tidak mau terjangkit dan berubah menjadi orang mati
Kedua sendeling itu adalah utusan tukang, mereka mulai
bekerja, dengan menanam tanaman yang di bawa dari Ternate. Untuk pekerjaan
bercocok tanam, mereka butuh tanah yang subur sedangkan Mansinam berbatu dan
kurang subur sehingga mereka harus ke daratan Kwawi. Untuk ke daratan yang jauh
nya 1 – 2 jam perjalanan menggunakan perahu, Ottow dan Geissler berusaha
membuat parahu itu sendiri karena tidak ada orang kampung yang mau menyapa
mereka. Setelah tiga kali salah menebang pohon yang tidak dapat dijadikan
perahu, orang kampung mulai rasa kasihan, lalu menjual sebuah perahu kecil
untuk kedua penginjil itu.
Selanjutnya mereka berdua mulai bekerja melawan rimba pesisir Mansinam dan Kwawi. Beberapa minggu kemudian kedua nya jatuh sakit, awalnya disangka akibat dari pekerjaan yang berat, namun ternyata disebabkan oleh penyakit Malaria.
Selanjutnya mereka berdua mulai bekerja melawan rimba pesisir Mansinam dan Kwawi. Beberapa minggu kemudian kedua nya jatuh sakit, awalnya disangka akibat dari pekerjaan yang berat, namun ternyata disebabkan oleh penyakit Malaria.
Ketika kedua nya terbaring karena serangan malaria, banyak
orang datang menjenguk mereka. Setiap orang ingin tahu apa yang akan terjadi
dengan ke dua manusia putih itu, yang berasal dari Matahari terbenam di mana
tempat tinggal arwah orang mati (Menurut pikiran penduduk ) . Untung Geissler
membawa obat Kinine, dan setelah sembuh mereka melanjutkan pekerjaan nya.
Selain itu jika ada waktu senggang mereka adakan ibadah, karena rakyat juga ada
yang mengetahui sedikit bahasa melayu sehingga sering terjadi salah pengertian
dalam komunikasi.
Ketika Geissler berbicara mengenai orang mati pada hari minggu, orang – orang kampung sedikit mengerti maksud nya, mereka juga memiliki kepercayaan bahwa orang – orang yang telah mati satu saat akan bangkit membawa kebahagiaan. Khotbah ini membuat orang kampung selalu menyelidiki kuburan untuk melihat apakah orang mati akan bangkit kembali setiap hari minggu. Namun kubur – kubur tetap tertutup, sendeling telah menipu kita, hanya mereka saja manusia betul, orang kulit putih adalah manusia dari masa yang sudah berlalu.
5. Kebiasaan Penduduk Mansinam yang jahat
Ketika Geissler berbicara mengenai orang mati pada hari minggu, orang – orang kampung sedikit mengerti maksud nya, mereka juga memiliki kepercayaan bahwa orang – orang yang telah mati satu saat akan bangkit membawa kebahagiaan. Khotbah ini membuat orang kampung selalu menyelidiki kuburan untuk melihat apakah orang mati akan bangkit kembali setiap hari minggu. Namun kubur – kubur tetap tertutup, sendeling telah menipu kita, hanya mereka saja manusia betul, orang kulit putih adalah manusia dari masa yang sudah berlalu.
5. Kebiasaan Penduduk Mansinam yang jahat
Para sending menghadapi tantangan “kekafiran”, pemujaan patung – patung roh, pesta – pesta pemujaan untuk orang mati dan sebagai nya, dimana nyanyian – nyanyian penduduk dinyanyikan pada waktu malam terang bulan sepanjang pantai. Ini harus di hentikan, dan sebagai langkah awal Geissler tidak membeli sesuatu dari penduduk pada hari minggu, kecuali mereka yang datang minta obat dilayani dengan catatan mengikuti kebaktian gereja. Ottow dan Geissler mengajarkan mereka tentang “Iman berdasarkan pendengaran.” Geissler dengan keras dalam khotbahnya melarang penyembahan berhala dan pendirian tempat – tempat pemujaan Roh ( Rumsram ) benda skral (patung – patung ) yang tidak ada gunanya.
Namun rakyat tidak menerima nya, kata mereka roh – roh
orang mati, rumah iblis, patung – patung itu hanya orang asing saja yang tidak
percaya, dan mereka meminta kepada Geissler untuk mengusahakan orang – orang
mati mereka bangkit, baru mereka dapat serahkan Korwar (Patung – patung ) dan
hanya mengikuti ibadah hari minggu.
Selain penyembahan berhala, pengayauan, membalas dendam
setelah satu peristiwa kematian, masalah suanggi (Orang hidup yang memegang
kuasa jahat) di mana ibu – ibu tua yang tidak berdosa kadang di bunuh, karena
di curigai sebagai suanggi, perburuan budak yang mengakibatkan kepedihan dan
kecemasan bagi perintis pekabaran injil.
Ottow dan Geissler pernah menebus beberapa budak orang
Numfor. Faktor bahasa membuat orang malas hadir dalam ibadah hari minggu, jika
Ottow dan Geissler menggunakan bahasa Numfor, maka orang tidak mau hadir lagi,
karena mereka merasa malu mendengar bahasa ini. Hal ini baru diketahui beberapa
tahun kemudian
Kebiasaan membunuh orang yang kapal nya kandas (Karam)
dan merampok barang – barang nya. Orang kampung menganggap bahwa orang yang
karam itu mendapat kutukan sehingga malapetaka tersebut berasal dari roh– roh
jahat. Ottow dan Geissler pernah dua kali menyelamatkan beberapa orang Eropa
yang kapal nya karam, namun sebagian besar di bunuh oleh rakyat. Karena jasa
nya itu mereka memperoleh penghargaan dari pemerintah dan menerima gaji setiap
bulan sebesar f 50 (lima puluh gulden).
6. Dari Mansinam Ke Kwawi
6. Dari Mansinam Ke Kwawi
Dalam pekerjaan yang meletihkan Geissler mendapat luka di kaki nya dan berkembang menjadi luka borok (kudis dan berbau ). Dua tahun kemudian yaitu 1857 Ottow menikah, sedangkan Geissler kondisi nya semakin memburuk, ia menulis surat kepada tunangan nya di Jerman bahwa ia kuatir tidak akan pernah bertemu lagi, dalam tahun itu juga Ottow dan Geissler harus berpisah. Geissler tetap di Mansinam dan Ottow membuka lahan penginjilan baru di Kwawi.
Geissler kemudian menikah dengan seorang wanita kristen
dari Ternate, dari hasil pernikahan mereka di karuniai anak – anak dan mereka
adalah pemilik kubur – kubur pertama dari suatu pekerjaan para sending di tanah
ini. Banyak pekerjaan yang harus dikerjakan Injil Kerajaan Allah juga harus
disampaikan selain di Mansinam, maka Ottow pindah dari Pulau Mansinam ke Kwawi
daratan Manokwari untuk membuka lahan pekabaran injil di sana. Sedangkan
Geissler tetap melanjutkan pekerjaan Penginjilan di Mansinam. Di Kwawi Nyonya
Ottow membuka Sekolah Gadis di rumahnya, namun akhirnya di tutup karena adat
setempat tidak memperkenankan anak gadis belajar bersama dengan anak pria.
Pekerjaan penginjilan yang begitu berat, sementara kelengkapan obat- obatan
tidak ada.
7. Tujuh Tahun berlalu tanpa melihat hasilnya
7. Tujuh Tahun berlalu tanpa melihat hasilnya
Awal november 1862 Carl Ottow sakit keras beberapa hari,
dan akhirnya pada tanggal 9 November 1862 ia menghembuskan nafas yang kemudian
dikuburkan di halaman rumahnya di Kwawi. Tujuh tahun lamanya ia bekerja, tanpa
melihat hasil kerja nya, belum ada seorang Papua yang mau menerima Injil,
(Meski pun saya tidak melihat hasil kerja saya, namun saya berharap dapat
bertemu dengan satu orang Papua di Sorga kelak ) demikianlah harapan dan doa
Ottow sebelum meninggal.
Penduduk menganggap kematian ini sebagai balas dendam
dari roh – roh jahat, karena para sending terlalu berani menentang mereka
Inilah korban bagi pekerjaan Injil di tanah ini. Banyak tantangan dan hambatan
yang dialami oleh kedua utusan injil itu, namun oleh karena cinta yang besar
kepada Tuhan, mereka tetap setia menjalankan tugas dan panggilan mereka. Ottow
mempunyai pengharapan ditengah kesulitan dan tantangan yang ia selalu hadapi
(Mazmur 126 :5-6 ).
Pengharapan hidup dan kerjanya itu tertulis dengan indah di atas Nisannya di Kwawi, yang berbunyi :”Berbahagialah orang yang percaya meskipun tiada nampak” (Yohanes 20:29b)
Ottow telah pergi mendahului kita, yang sedang bekerja sebagai penerus obor kebenaran untuk anak-anak dan saudara-saudara kita yang belum mengenal sang Juru Selamat nya. Kiranya sang apostel yang setia itu nama nya terpahat dengan tinta emas dalam buku Alhayat di hadapan Tahta Allah, dan kita yang ada saat ini merupakan doa dan harapan nya. Giatkan kerja mu agar kelak dapat berjumpa dengan Gembala Agung kita dan berjabat tangan dengan para apostel di surga rumah tempat tujuan kita Amin
8. Masih adakah harapan bagi Orang Papua untuk menerima Injil ?
Pengharapan hidup dan kerjanya itu tertulis dengan indah di atas Nisannya di Kwawi, yang berbunyi :”Berbahagialah orang yang percaya meskipun tiada nampak” (Yohanes 20:29b)
Ottow telah pergi mendahului kita, yang sedang bekerja sebagai penerus obor kebenaran untuk anak-anak dan saudara-saudara kita yang belum mengenal sang Juru Selamat nya. Kiranya sang apostel yang setia itu nama nya terpahat dengan tinta emas dalam buku Alhayat di hadapan Tahta Allah, dan kita yang ada saat ini merupakan doa dan harapan nya. Giatkan kerja mu agar kelak dapat berjumpa dengan Gembala Agung kita dan berjabat tangan dengan para apostel di surga rumah tempat tujuan kita Amin
8. Masih adakah harapan bagi Orang Papua untuk menerima Injil ?
Penduduk Mansinam sering dirampok, banyak orang terluka dan pernah seorang di culik, hal ini membuat Geissler bersama beberapa pemuda mengejar perampok – perampok itu dan membebaskan tawanan itu.
Tahun 1861 Mansinam diserang wabah cacar, akibat nya 1/3
(seper tiga) penduduk meninggal. Geissler dalam khotbah nya menjelaskan bahwa
ini adalah suatu hukuman dari Tuhan karena orang Mansinam tidak mau dengar Injil.
Namun rakyat tidak peduli dan tak mau mendengar nya, mereka menganggap bahwa
itu adalah roh para moyang yang membalas dendam, jadi mereka harus dirikan
Rumsram (Rumah untuk meyembah berhala mereka ) dan membuat patung – patung roh.
Walaupun ditegur keras oleh kedua penginjil itu tak
pernah mereka peduli. Dalam kehidupan yang serba sulit dan sakit, Geissler
membagi – bagikan makanan kepada semua orang dan ini membuat penduduk Mansinam
terkesan .
Tanggal 18 April 1863, para sending dari Belanda tiba di
Dore, nyonya janda Ottow sudah berangkat ke Ternate se hari sebelum nya karena
akan melahirkan. Sebelum rombongan ini tiba seorang Gossner yaitu tuan Jaesrich
telah membeli barang - barang milik Pdt Ottow dan mendiami rumah tersebut.
Rombongan sending yang datang adalah; Pdt J.L Van Hasselt
beserta isterinya tinggal bersama Pdt Jaesrich dan keluarga di Kwawi, sedangkan
Pdt Klaasen dan isteri serta Pdt Otterspoor menumpang di rumah Pdt Geissler di
Mansinam
9. Kerk der Hopen / Gereja Pengharapan di bangun
9. Kerk der Hopen / Gereja Pengharapan di bangun
Tahun 1864 terjadi gempa bumi yang hebat, kampung dan rumah – rumah para sending rusak, terpaksa para sending harus tinggal di pondok – pondok darurat sehingga semua nya jatuh sakit, mereka harus berangkat ke Ternate untuk berobat, keadaan sungguh - sungguh sangat buruk, karena pekerjaan ini akan dihentikan, selain gempa bumi wabah cacar melanda Mansinam dan Manokwari, namun Geissler tetap bertahan walaupn kadang ia ragu, apakah orang Papua masih mau menerima injil? dalam krisis tahun 1864 itu ia mulai membangun gereja, yang dinamakan “ Kerk der Hopen” (Gereja Pengharapan), yang dapat menampung 300 orang, walaupun paling banyak orang masuk gereja di hari minggu hanya 30 orang saja, dan ketika gedung itu hampir selesai datang angin dan badai yang menghancurkan dinding dan setengah atap nya, peristiwa ini hampir merenggut nyawanya.
Dapatkah pembaca merasakan kekecewaan yang di alami nya
atas musibah dan keadaan yang hampir tak pernah ada harapan bagi pekerjaan
injil mula – mula? Bukan itu saja ada banyak komentar yang datang dari orang
kafir yang dapat memupuskan harapan sang penginjil , namun masih ada secercah
harapan di hati Geissler untuk terus membangun sampai selesai dengan baik.
Wabah dan penyakit serta berbagai tantangan yang di alami
para pekerja sending tahun 1861 – 1864 datang lagi krisis yang paling buruk
dari sebelum nya, gempa bumi, wabah cacar, penduduk memberontak terhadap para
sending, mereka bereaksi karena ada kabar Geissler akan cuti, kapal akan tiba
di Doreh tiga bulan lagi, penduduk meneruskan rencana mereka mendirikan rumsram
(kuil – kuil pemujaan atau rumah iblis ), mendirikan patung – patung melihat
kondisi ini Geissler mengirim surat dari Mansinam, katanya “ untuk meratapi
kedegilan dan kedurhakaan rakyat ku, penduduk Mansinam, hati ku berdarah, dan
sedih bila ku lihat bagaimana mereka mencela dan memijak – mijak injil itu.yang
selama 14 tahun telah di dengarnya. Rupanya mereka seolah – olah bersepakat
untuk tetap hidup dengan adat – istiadat kunonya yang penuh dosa itu “
10. Masa Perbaikan dan Penaburan benih Injil Tahun 1863
10. Masa Perbaikan dan Penaburan benih Injil Tahun 1863
Masa perbaikan dan penaburan benih injil ini diawali
dengan meninggalnya Carl Ottow 9 November 1862. Nyonya Ottow meninggalkan
Mansinam menuju Ternate tanggal 17 April 1863 karena hendak bersalin, dengan
kapal milik tuan Duivenbode.” Kedatangan Utusan Zending dari negeri Belanda
dengan Badan Zending UZV (Utrecthse Zendings Vereniging ), yang tiba di teluk
Doreh Manokwari tanggal 18 April 1863. dengan kapal de Virgo (Berangkat dari
ternate tanggal 23 Maret ) Rombongan UZV itu adalah Pdt.J.L Vanhaselt,
Pdt.Klaasen dan Pdt Otterspoor.
Para Pendeta yang datang ini telah dilengkapi dengan Pengetahuan pertukangan dan latar belakang Theologi yang baik. Pdt Jaesrich yang telah belajar bahasa Numfor membantu Geissler di Mansinam dalam ibadah – ibadah dan keteksasi tiap hari di Mansinam dan Kwawi.
Para Pendeta yang datang ini telah dilengkapi dengan Pengetahuan pertukangan dan latar belakang Theologi yang baik. Pdt Jaesrich yang telah belajar bahasa Numfor membantu Geissler di Mansinam dalam ibadah – ibadah dan keteksasi tiap hari di Mansinam dan Kwawi.
Di kemudian hari di utus pula seorang tukang kayu yaitu
G.L Bink, untuk membangun rumah – rumah pendeta, gereja, mengajar penduduk
mengenai pertukangan dengan menggunakan alat – alat. Kemudian diangkat menjadi
pendeta karena kerja dan kesetiaan nya. Salah satu karya nya adalah rumah
Gereja Bethel di Mansinam bersebelahan dengan Gereja Lahai Roi ( sekarang
tinggal puing ). Pendeta G.L Bink meninggal bersama beberapa putra dan isteri
nya di Roon. (Tahun 1870 – 1899) Pdt Kamp (1866 – 1871) adalah seorang pendeta
pertanian yang bekerja di Meoswar kemudian bekerja di Andai, dan meninggal
sebelum orang Arfak menerima injil dan pengetahuan yang di ajarkan nya.
Diganti Pdt. Woelders yang bekerja untuk orang Arfak,
mengajar orang Arfak bercocok tanam kacang merah (Brene Boune) kentang dan
sebagai nya, dan mendirikan percetakan buku yang pertama di Andai (1867 – 1892)
dibantu Pdt Ruys yang adalah Pendeta Pedagang. (Pendeta dan Nyonya Woelders
meninggal di Andai kuburan nya masih ada sampai sekarang di tepi sungai Andai
di bawah pohon – pohon langsat )
Pendeta – pendeta yang datang kemudian membantu pekerjaan
di sekitar Manokwari, ada yang bekerja di Manokwari, di Andai, pesisir Timur
yaitu Wariap, Momi, Syari dan Meoswar hingga sampai ke Windesi dan Yende di
pulau Roon.
Ada banyak kesulitan dan tantangan yang dialami pada masa
ini seperti ; Penduduk masih tetap hidup dalam kekafiran dan kejahatan; Ottow
pernah mengajar bahasa melayu kepada orang Mansinam dan Kwawi (Di sekolah desa)
namun akhirnya di tutup karena banyak orang tua protes anak nya belajar bahasa
melayu, karena mereka berpikir kalau anak – anak mereka dapat berbicara dalam
Bahasa Melayu akan di suruh para pendeta untuk mengantar surat ke kapal – kapal
yang masuk di Teluk Doreh, dan ini berbahaya karena gampang anak – anak mereka
di larikan ke Ternate. Para pendeta harus belajar Bahasa Numfor sebagai bahasa
komunikasi dengan penduduk dan dalam kebaktian – kebaktian.
Menurut catatan penduduk Mansinam berjumlah 300 jiwa,
namun yang masuk kebaktian sangat sedikit. Para pendeta selalu mengadakan
kebaktian berganti–ganti di Kwawi dan Mansinam (minggu pertama di
Mansinam–minggu berikut nya di Kwawi.)
Pekabaran Injil harus dibarengi dengan pemberian materi
atau hadiah bagi masyarakat seperti ; tembakau (rokok), pisau dan lain-lain,
jika tidak masyarakat tidak bersedia di injili, selain tantangan nya, ada juga
keberhasilan yang telah dicapai yaitu ;
Para utusan memiliki keahlian di berbagai bidang sehingga
memudahkan kontak dengan masyrakat sebagai sasaran penginjilan. Beberapa
anggota masyarakat dapat diambil menjadi “anak piara “ sebagai cikal bakal
hasil penginjilan; seperti Timotius Awendu dan Petrus Kafiar yang kemudian hari
menjadi guru di kampung halaman nya sendiri; Pada masa ini ada delapan belas
orang utusan Zending ke New Guinea, namun dari jumlah tersebut ada enam orang
yang meninggal dunia, tiga diantaranya dipulangkan karena masalah kesehatan,
tiga orang diberhentikan karena tidak tahan dengan situasi yang sulit pada
waktu itu, tiga orang dipindahkan karena kurang sanggup bekerja, dan hanya tiga
orang saja yang setia dalam pekerjaan dan bertahan.
Walaupun sudah dua puluh lima tahun bekerja dengan sekuat
tenaga dan setia. Dalam masa penaburan benih injil di tanah ini tidak sedikit
pengorbanan yang di alami oleh para pelopor Injil di tanah Papua, banyak korban
jiwa dan materi namun jumlah orang yang bertobat dan percaya barulah dua puluh
dua orang, anda dapat bayangkan betapa sulitnya orang Papua pada saat itu untuk
percaya. Kalau di lihat dari angka tersebut berarti satu tahun ada satu orang
yang bertobat atau mungkin juga tidak ada sama sekali
11. Aku akan kembali secepatnya
11. Aku akan kembali secepatnya
Demikian Geissler dalam suratnya yang terakhir dari New
Guinea Barat ,untuk meratapi kedegilan dan kedurhakaan rakyat ku, penduduk
Mansinam. “Hatiku berdarah, dan sedih bila kulihat bagaimana mereka mencela dan
menginjak – injak injil itu, yang selama 14 tahun telah didengarnya, mereka
seolah – oleh telah bersepakat untuk berkeras hati dengan adat- istiadat
kunonya yang pe¬nuh dosa itu".
Apakah Geissler putus asa? Karena telah be¬kerja 15 tahun
ia akan cuti ke tanah airnya di Jerman. Nampaknya demikian, tetapi dari Ternate
dia menulis : “Aku ingin ke New Guinea lagi dari pada ke Jerman". Dan
suratnya yang terakhir dari pelabuhan Sint Helena (di sebelah barat Afrika
Tengah), berbunyi : “ Aku tidak bermaksud untuk tinggal lama di Eropa, aku
kembali secepatnya. Namun rencana itu tidak tercapai .“
Setibanya di tanah Belanda, ia mengunjungi Utrecht pusat
Badan Pengurus Zending (UZV) yang dengan penuh penghargaan dan telah mengikuti
pekerjaan nya yang melelahkan di Tanah New Guinea, ia diterima dengan rasa haru
dan air mata, mereka menamakan nya sebagai Rasul New Guinea / Irian Barat .
Namun ia tidak mendapat rencana selanjutnya untuk membicarakan kepentingan
pekabaran injil di tanah New Guinea .
Dalam perjalanannya menuju kampung orang tua nya ia
menumpang pada kakaknya di Siegen (Wesfalen) dan disini penyakit batuk kering
yang sangat pendek merenggut nyawanya dalam beberapa hari sebelum ia berjumpa
dengan orang tuanya yang sudah lanjut usia, yang selama 18 tahun tidak pernah
bertemu dia.
Pada tanggal 11 Juni 1870 meninggallah “sang Rasul”dan
diatas kuburnya diletakkan sebuah batu dengan tulisan J.G.G. sudah pasti tidak
ada uang yang cukup untuk memahat namanya pada Nisan yang baik, namun kita
sebagai orang percaya dari hasil kerja kerasnya di tanah ini percaya bahwa
namanya lengkap tertulis pada kitab kehidupan “Johann Gottlob Geissler".
“SYUKUR YA TUHAN KAMI”
(Hymne GKI di Tanah Papua)
Syukur ya Tuhan kami, sebab Kau koyakkan
Kelam dan awan – awan, kesia – siaan
Dan tanah kami ini ketika tertentu
Di buka bagi firman, terang dan hidup mu
Dahulu kami tunggu suatu dunia
Lengkap didalam diri, yang satu dan baka
Iblis tetap memasang pengharapan semu
Dan kami yang kecewa, tak tahu kasih mu
Ajaiblah sayang Tuhan, kasih Mu yang besar
Mengutus pemberita kebangkitan benar
Dibimbing oleh Yesus yang mati di salib
Tak takut kami lagi rahasia gaib
Rahasia terbuka, teranglah harapan
Dan dosa nenek moyang telah diampunkan
Dan hati yang percaya sekarang barulah
Melihat kerajaan yang satu dan baka
Ya Tuhan, b’ri gereja dan kami inipun
Tetap terbuka hati, setia bertekun
Genapkan pekerjaan di dalam dunia!
Dengarkan doa kami, ya Tuhan datanglah!
(Hymne GKI di Tanah Papua)
Syukur ya Tuhan kami, sebab Kau koyakkan
Kelam dan awan – awan, kesia – siaan
Dan tanah kami ini ketika tertentu
Di buka bagi firman, terang dan hidup mu
Dahulu kami tunggu suatu dunia
Lengkap didalam diri, yang satu dan baka
Iblis tetap memasang pengharapan semu
Dan kami yang kecewa, tak tahu kasih mu
Ajaiblah sayang Tuhan, kasih Mu yang besar
Mengutus pemberita kebangkitan benar
Dibimbing oleh Yesus yang mati di salib
Tak takut kami lagi rahasia gaib
Rahasia terbuka, teranglah harapan
Dan dosa nenek moyang telah diampunkan
Dan hati yang percaya sekarang barulah
Melihat kerajaan yang satu dan baka
Ya Tuhan, b’ri gereja dan kami inipun
Tetap terbuka hati, setia bertekun
Genapkan pekerjaan di dalam dunia!
Dengarkan doa kami, ya Tuhan datanglah!
(Di sadur dari kabarkampungku.blogspot.com)
Komentar
Posting Komentar