KISAH RASUL PAPUA




I. DENGAN NAMA TUHAN KAMI MENGINJAK TANAH INI

Sejak abad ke–15 sampai dengan abad 16 Papua (New Guinea ) pada waktu itu, dibawah kekuasaan pemerintahan Sultan Tidore. Namun Sultan Tidore tidak mendirikan pemerintahan nya di tanah Papua. Pada tahun 1828 dinyatakan bahwa Papua sebagai bagian Barat dari Jajahan Belanda. Tahun 1898 ditempatkanlah aparat pemerintahan Belanda yang berkedudukan di Manokwari (Injil telah diberitakan di tanah Papua selama kurung waktu 43 tahun)

Dalam tahun 1848 terbentuk suatu perhimpunan Utusan Tukang di Belanda, yang didirikan oleh Pdt. O.G Heldring. yang tujuan nya adalah mengutus para tukang yang trampil ke daerah – daerah yang masih dalam kegelapan atau kafir. Utusan tukang adalah orang Kristen yang berpengetahuan tukang, tani, pedagang yang dapat bekerja mencari nafkah dan Memberitakan injil. Mereka tidak di gaji hanya di Bantu pelayaran nya ke daerah – daerah tujuan. Mereka ini akan menjadi teladan dan memberi contoh yang baik bagi orang lain untuk hidup Berdikari.

Di Jerman (kota Berlin), bapa Gossner juga membuka Sekolah dan mendidik para pemuda yang nantinya akan di utus ke negeri—negeri kekafiran di Asia dan di Afrika termasuk Papua. Di sinilah kedua tokoh penginjil Carl Ottow dan Johann Gottlob Geissler di bimbing dan dididik menjadi utusan tukang (Zendeling - Weerkleiding). Yang menjadi tujuan pengutusan kedua penginjil tersebut adalah Tanah Papua (New Guinea), yang pada saat itu di kenal sebagai “daerah kekuasaan iblis” karena corak hidup penduduk nya yang jahat yakni suka berperang dan saling makan memakan antara manusia (cannibalism), perampokan, pengayauan, perbudakan dan sebagainya.

II. PERINTIS PEKABAR INJIL DI TANAH PAPUA ( 1855 - 1870)

Dengan nama Tuhan kami menginjak tanah ini! " Itulah doa pertama yang diucapkan oleh Ottow dan Geissler, kedua perintis pekabar Injil pertama dari Eropah Barat (Jerman), sesaat sesudah keduanya menginjak kaki di pulau Man¬sinam, sebuah pulau kecil di teluk Doreh atau sebelah Timur - laut Manokwari, pada tanggal 5 Februari 1855.

Bagaimana keinginan mereka untuk memberitakan Injil dengan perjalanan yang jauh ke Papua, ditambah lagi dengan tantangan yang di alami dalam pekerjaanya di daerah ini, yang hampir saja memupuskan harapan, dan hasil pekerjaan yang kecil, dibanding dengan pengorbanan yang besar.

1. Masa Persiapan

Johann Gottlob, seorang pemuda berusia 17 tahun, oleh ayahnya ia belajar pada seorang tukang perabot di Berlin. Dia suka belajar dan menggabungkan diri dengan sekelompok pemuda, yang sama – sama melakukan sejenis pekerjaan kader. Disitulah Johann belajar banyak dan mengunjungi kawan – kawan nya. Pada suatu pertemuan sending, dimana ia pernah mengikuti “pengutusan dua ", untuk pengutusan sending dua orang yaitu yang disebut : “Sendeling tukang" (Zendelings werk lieden ) yang disponsori oleh bapak Gossner.

Bapak Gossner adalah bekas Imam Roma Katholik yang pada jamannya sangat Oikumenis pikiran nya, ia sangat keras menentang segala formalisme, ia sendiri tidak fanatik. Ia memiliki pandangan yang terbuka untuk dunia luas, dimana Injil be¬Ium dikabarkan. Dia tidak menggabungkan diri dengan pen¬didikan sendeling pada waktu itu, yang harus belajar sekian lama, sehingga menurut dia terlaIu intelektualistis, dan ia punya ide untuk mengirim sendeling “ tukang itu ke daerah - daerah yang belum men¬dengar berita Injil.

Mereka tidak perlu pendidikan tinggi yang memakan banyak waktu. Orang Kristen yang penuh keyakinan dan dengan dedikasi yang baik, dapat diutus setelah mengikuti masa persiapan yang pendek, dan seperti rasul Paulus dapat memelihara hidupnya dengan hasil kerajinan tangan. Sehingga Dalam waktu senggangnya mereka dapat memberitakan Injil.

Johann Geissier mendengar hal ini, ketika hadir dalam suatu pertemuan, yang dipimpin oleh bapak Gossner, tentang pekerjaan sending. Rupanya saat itu Johann memakai pakaian yang agak mencolok, sebab sesudah `ceramah bapak Goss¬ner berseru kepada pemuda yang hadir dan dia berpaling kepada Johann : “kau yang berbaju biru, bagaimana dengan mu, apakah kau tidak tertarik untuk pekerjaan sending?". Karena dikonfrontir didepan banyak orang, oleh seruan yang langsung ditujukan padanya, Johann menja¬wab': “ya, namun saya tidak punya kemampuan dan tidak yakin apakah dapat menjadi seorang sendeling yang baik''.

Akan tetapi Gossner memberanikan dia, sehingga Johann mengikuti pendidikan. Mula mula dalam waktu senggangnya, dan kemudian ia mulai serius belajar di rumah bapak Gossner sendiri. Sekarang nyata, bahwa Johann tidak hanya memperkenalkan dirinya melalui baju birunya, tapi juga melalui wataknya. Pada tanggal 28 Februari 1852 katika berusia 22 tahun ia diteguhkan sebagai seorang sendeling, dan demikian menjadi salah satu utusan Gossner.

Di Zetten, tanah Belanda waktu itu tuan O.G Heldering, yang telah mengadakan kerjasama dengan Gossner setuju akan ide tukang – tukang Kristen sebagai pekerja sending di ladang Tuhan . Mereka yang pergi ke Hindia Belanda (Indonesia) ditampung sementara di Zetten, untuk belajar bahasa Belanda dan dipersiapkan untuk berangkat.

Geissler juga melalui cara ini. Dengan rekan nya Schneider, dalam bulan maret ia berjalan kaki dari Berlin ke Zetten. Pada tanggal 25 April 1852 mereka tiba di Zetten. Dalam perjalanan mereka mengabarkan injil, menyanyi dan mengadakan pertemuan. Nyanyian “ Wo findet die seele die Heimat , die ruh” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda menjadi “ Daar ruist langs de wolken “ (Segala benua dan langit penuh Ny Rohani 144) Geissler dan Schneider yang memperkenalkan lagu ini di tanah Belanda. Rupanya Geissler seorang penghotbah yang menarik, sehingga dalam penginjilan dari kampung ke kampung dan kota ada tujuh orang pemuda mengaku iman nya dan bertobat. Ini bila kita lihat selama hampir 15 tahun Geissler bekerja di tanah Papua ia hanya dapat membabtiskan enam orang, dan itu juga adalah budak – budak yang telah di tebus oleh nya

Tanggal 25 Juni 1852 Geissler bersama teman – teman nya di utus ke Zetten dan keesokkan hari nya beranghkatlah mereka dengan kapal “ Abel Tasman”, melalui tanjung Pengharapan hingga ke Batavia (Jakarta) mereka pada tanggal 7 Oktober 1852.

2. Dari Batavia ke New Guinea

Perjalanan pertama telah ditempuh dengan berjalan kaki dari Berlin ke Zetten dan berlayar ke Hindia Belanda ( Batavia ) . Tanah New Guinea masih jauh dibalik kaki langit, sebelum ke New Guinea mereka harus minta ijin dari pemerintah Hindia Belanda dan belajar bahasa Melayu. Di Batavia ada sebuah Persekutuan Pekabaran Injil ke dalam dan ke luar” yang setia menemani mereka dengan baik” Schneider menjadi sendeling pedagang, sedangkan Ottow dan Geissler di persiapkan untuk Tanah New Guinea.
Mereka pernah mendengar bahwa Tanah New Guinea belum ada pemerintahan , orang masih hidup dalam kegelapan sebagai pemakan manusia (Kanibal) dan berbagai macam berita yang mereka dengar tentang tanah New Guinea . Untuk mempersiapkan diri Ottow dan Geissler selama 1 ½ (satu setengah ) tahun harus mengajar pada sebuah sekolah di dekat Batavia, barulah semua urusan nya bisa diselesaikan untuk keberangkatan mereka ke sebelah timur Hindia Belanda.

Di Makassar mereka bertemu dengan orang utusan Gossner, Schneider menyarankan agar sebaiknya mereka mencari nafka sebagai pedagang dari pada harus berangkat ke New Guinea . Semakin mendekat ke New Guinea banyak orang menasihatkan agar jangan pergi ke sana sebab disana penduduk nya masih buas.

Tiba di Ternate mereka menunggu berbulan – bulan. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak dapat membiarkan diri untuk ditakut – takuti oleh berita – berita yang mengerikan tentang tanah tujuan, banyak orang memberi bantuan atau dukungan bagi perjalanan mereka.
Semua perlengkapan kedua utusan ini dibayar oleh “ Persekutuan Pekabaran Injil ke dalam dan ke luar “ di tambah dengan sejumlah kecil modal awal untuk usaha mereka yang pertama, yang memberi mereka satu dasar ekonomis yang pada waktu itu cukup yaitu : f 300 (tiga ratus gulden). Ottow dan Geissler mengumpulkan bermacam – macam barang, bahkan beberapa ekor sapi dan ternak kecil di tambah banyak tanaman.

3.Tiba di Mansinam

Bulan Februari 1855 mereka berangkat dari Ternate dengan menumpang kapal layar “ Ternate” Ketika matahari terbit, bayangan gunung Arfak mulai nampak dan teluk yang tenang diiringi nyanyian ombak menghantarkan Perahu layar Ternate yang membawa kedua utusan Injil di teluk Doreh Manokwari, di mana sauh tujuan akan di labuhkan, Hutan yang membisu lagi menyeramkan dan Pulau Mansinam yang menjandi saksi pijakan kaki para hamba Nya untuk pertama kali , “ Dengan Nama Tuhan kami menginjak tanah ini “ Demikianlah Doa sulung ke dua utusan Injil itu ketika tiba di tepi pantai Pulau Mansinam Tanggal 5 Februari 1855. Cahaya dan embun sorgawi turunlah sudah hendak menyinari kekelaman dan kelam kabut Tanah ini. Mereka datang dengan satu tekad bahwa injil Kristus harus disampaikan pada orang Papua.

Tujuan kedua penginjil ini tercapai , Injil Tuhan telah mencapai tanah kekafiran , namun tantangan mulai terasa. Tak ada seorang pun yang menyapa mereka, mereka hanya seorang diri, berada di dalam kepercayaan itu. Orang Mansinam menganggap kedua orang ini berasal dari dunia lain (Dunia aibu) karena kulit mereka putih.

Banyak kesulitan yang dihadapi kedua zendeling ini, disebabkan karena, Penduduk Mansinam dan Manokwari belum dapat menerima Ottow dan Geissler, disebabkan kapercayaan animisme / dinamisme yang kuat Penduduk juga belum mengerti pekerjaan dan apa tujuan kedatangan kedua utusan tersebut. Gambaran dari kedua utusan sewaktu di tanah Jerman tentang sistim kehidupan penduduk New Guinea ternyata jauh berbeda dari apa yang mereka alami saat itu, penduduk belum memerlukan hasil pertukangan mereka, akhirnya sering terjadi salah paham dalam pemberitaan injil

Akibatnya Ottow dan Geissler harus bekerja sendiri, membuka hutan sendiri, membuat rumah sendiri dan banyak pekerjaan lain yang harus mereka kerjakan sendiri, bahkan apabila mengalami kesakitan dan kesulitan haruslah berusaha sendiri agar dapat terlepas dari kesulitan tersebut.

4. Apakah mereka benar Manusia ?

Orang Mansinam telah melihat ke dua orang kulit putih yang tiba di pantai Mansinam itu, sebelum nya mereka hanya melihat dan mendengar dari jauh tentang manusia kulit putih, namun sekarang mereka datang dan tinggal bersama mereka.

Kedua penginjil itu menumpang di sebuah gudang tua yang sudah rusak milik seorang pengusaha kapal. Penduduk Mansinam heran karena ke dua orang ini mempunyai adat – istiadat yang lain. Mereka juga benar – benar manusia.

Seorang dukun dari pulau itu yang dianggap sebagai orang yang paling tahu segala nya, menjelaskan dan menasehatkan orang kampung bahwa ke dua orang itu adalah orang mati yang bangkit. Jadi orang tidak boleh mendekati mereka bila tidak mau terjangkit dan berubah menjadi orang mati

Kedua sendeling itu adalah utusan tukang, mereka mulai bekerja, dengan menanam tanaman yang di bawa dari Ternate. Untuk pekerjaan bercocok tanam, mereka butuh tanah yang subur sedangkan Mansinam berbatu dan kurang subur sehingga mereka harus ke daratan Kwawi. Untuk ke daratan yang jauh nya 1 – 2 jam perjalanan menggunakan perahu, Ottow dan Geissler berusaha membuat parahu itu sendiri karena tidak ada orang kampung yang mau menyapa mereka. Setelah tiga kali salah menebang pohon yang tidak dapat dijadikan perahu, orang kampung mulai rasa kasihan, lalu menjual sebuah perahu kecil untuk kedua penginjil itu.
Selanjutnya mereka berdua mulai bekerja melawan rimba pesisir Mansinam dan Kwawi. Beberapa minggu kemudian kedua nya jatuh sakit, awalnya disangka akibat dari pekerjaan yang berat, namun ternyata disebabkan oleh penyakit Malaria.

Ketika kedua nya terbaring karena serangan malaria, banyak orang datang menjenguk mereka. Setiap orang ingin tahu apa yang akan terjadi dengan ke dua manusia putih itu, yang berasal dari Matahari terbenam di mana tempat tinggal arwah orang mati (Menurut pikiran penduduk ) . Untung Geissler membawa obat Kinine, dan setelah sembuh mereka melanjutkan pekerjaan nya. Selain itu jika ada waktu senggang mereka adakan ibadah, karena rakyat juga ada yang mengetahui sedikit bahasa melayu sehingga sering terjadi salah pengertian dalam komunikasi.
Ketika Geissler berbicara mengenai orang mati pada hari minggu, orang – orang kampung sedikit mengerti maksud nya, mereka juga memiliki kepercayaan bahwa orang – orang yang telah mati satu saat akan bangkit membawa kebahagiaan. Khotbah ini membuat orang kampung selalu menyelidiki kuburan untuk melihat apakah orang mati akan bangkit kembali setiap hari minggu. Namun kubur – kubur tetap tertutup, sendeling telah menipu kita, hanya mereka saja manusia betul, orang kulit putih adalah manusia dari masa yang sudah berlalu.

5. Kebiasaan Penduduk Mansinam yang jahat

Para sending menghadapi tantangan “kekafiran”, pemujaan patung – patung roh, pesta – pesta pemujaan untuk orang mati dan sebagai nya, dimana nyanyian – nyanyian penduduk dinyanyikan pada waktu malam terang bulan sepanjang pantai. Ini harus di hentikan, dan sebagai langkah awal Geissler tidak membeli sesuatu dari penduduk pada hari minggu, kecuali mereka yang datang minta obat dilayani dengan catatan mengikuti kebaktian gereja. Ottow dan Geissler mengajarkan mereka tentang “Iman berdasarkan pendengaran.” Geissler dengan keras dalam khotbahnya melarang penyembahan berhala dan pendirian tempat – tempat pemujaan Roh ( Rumsram ) benda skral (patung – patung ) yang tidak ada gunanya.

Namun rakyat tidak menerima nya, kata mereka roh – roh orang mati, rumah iblis, patung – patung itu hanya orang asing saja yang tidak percaya, dan mereka meminta kepada Geissler untuk mengusahakan orang – orang mati mereka bangkit, baru mereka dapat serahkan Korwar (Patung – patung ) dan hanya mengikuti ibadah hari minggu.

Selain penyembahan berhala, pengayauan, membalas dendam setelah satu peristiwa kematian, masalah suanggi (Orang hidup yang memegang kuasa jahat) di mana ibu – ibu tua yang tidak berdosa kadang di bunuh, karena di curigai sebagai suanggi, perburuan budak yang mengakibatkan kepedihan dan kecemasan bagi perintis pekabaran injil.

Ottow dan Geissler pernah menebus beberapa budak orang Numfor. Faktor bahasa membuat orang malas hadir dalam ibadah hari minggu, jika Ottow dan Geissler menggunakan bahasa Numfor, maka orang tidak mau hadir lagi, karena mereka merasa malu mendengar bahasa ini. Hal ini baru diketahui beberapa tahun kemudian

Kebiasaan membunuh orang yang kapal nya kandas (Karam) dan merampok barang – barang nya. Orang kampung menganggap bahwa orang yang karam itu mendapat kutukan sehingga malapetaka tersebut berasal dari roh– roh jahat. Ottow dan Geissler pernah dua kali menyelamatkan beberapa orang Eropa yang kapal nya karam, namun sebagian besar di bunuh oleh rakyat. Karena jasa nya itu mereka memperoleh penghargaan dari pemerintah dan menerima gaji setiap bulan sebesar f 50 (lima puluh gulden).

6. Dari Mansinam Ke Kwawi

Dalam pekerjaan yang meletihkan Geissler mendapat luka di kaki nya dan berkembang menjadi luka borok (kudis dan berbau ). Dua tahun kemudian yaitu 1857 Ottow menikah, sedangkan Geissler kondisi nya semakin memburuk, ia menulis surat kepada tunangan nya di Jerman bahwa ia kuatir tidak akan pernah bertemu lagi, dalam tahun itu juga Ottow dan Geissler harus berpisah. Geissler tetap di Mansinam dan Ottow membuka lahan penginjilan baru di Kwawi.

Geissler kemudian menikah dengan seorang wanita kristen dari Ternate, dari hasil pernikahan mereka di karuniai anak – anak dan mereka adalah pemilik kubur – kubur pertama dari suatu pekerjaan para sending di tanah ini. Banyak pekerjaan yang harus dikerjakan Injil Kerajaan Allah juga harus disampaikan selain di Mansinam, maka Ottow pindah dari Pulau Mansinam ke Kwawi daratan Manokwari untuk membuka lahan pekabaran injil di sana. Sedangkan Geissler tetap melanjutkan pekerjaan Penginjilan di Mansinam. Di Kwawi Nyonya Ottow membuka Sekolah Gadis di rumahnya, namun akhirnya di tutup karena adat setempat tidak memperkenankan anak gadis belajar bersama dengan anak pria. Pekerjaan penginjilan yang begitu berat, sementara kelengkapan obat- obatan tidak ada.

7. Tujuh Tahun berlalu tanpa melihat hasilnya

Awal november 1862 Carl Ottow sakit keras beberapa hari, dan akhirnya pada tanggal 9 November 1862 ia menghembuskan nafas yang kemudian dikuburkan di halaman rumahnya di Kwawi. Tujuh tahun lamanya ia bekerja, tanpa melihat hasil kerja nya, belum ada seorang Papua yang mau menerima Injil, (Meski pun saya tidak melihat hasil kerja saya, namun saya berharap dapat bertemu dengan satu orang Papua di Sorga kelak ) demikianlah harapan dan doa Ottow sebelum meninggal.

Penduduk menganggap kematian ini sebagai balas dendam dari roh – roh jahat, karena para sending terlalu berani menentang mereka Inilah korban bagi pekerjaan Injil di tanah ini. Banyak tantangan dan hambatan yang dialami oleh kedua utusan injil itu, namun oleh karena cinta yang besar kepada Tuhan, mereka tetap setia menjalankan tugas dan panggilan mereka. Ottow mempunyai pengharapan ditengah kesulitan dan tantangan yang ia selalu hadapi (Mazmur 126 :5-6 ).
Pengharapan hidup dan kerjanya itu tertulis dengan indah di atas Nisannya di Kwawi, yang berbunyi :”Berbahagialah orang yang percaya meskipun tiada nampak” (Yohanes 20:29b)
Ottow telah pergi mendahului kita, yang sedang bekerja sebagai penerus obor kebenaran untuk anak-anak dan saudara-saudara kita yang belum mengenal sang Juru Selamat nya. Kiranya sang apostel yang setia itu nama nya terpahat dengan tinta emas dalam buku Alhayat di hadapan Tahta Allah, dan kita yang ada saat ini merupakan doa dan harapan nya. Giatkan kerja mu agar kelak dapat berjumpa dengan Gembala Agung kita dan berjabat tangan dengan para apostel di surga rumah tempat tujuan kita Amin

8. Masih adakah harapan bagi Orang Papua untuk menerima Injil ?

Penduduk Mansinam sering dirampok, banyak orang terluka dan pernah seorang di culik, hal ini membuat Geissler bersama beberapa pemuda mengejar perampok – perampok itu dan membebaskan tawanan itu.

Tahun 1861 Mansinam diserang wabah cacar, akibat nya 1/3 (seper tiga) penduduk meninggal. Geissler dalam khotbah nya menjelaskan bahwa ini adalah suatu hukuman dari Tuhan karena orang Mansinam tidak mau dengar Injil. Namun rakyat tidak peduli dan tak mau mendengar nya, mereka menganggap bahwa itu adalah roh para moyang yang membalas dendam, jadi mereka harus dirikan Rumsram (Rumah untuk meyembah berhala mereka ) dan membuat patung – patung roh.

Walaupun ditegur keras oleh kedua penginjil itu tak pernah mereka peduli. Dalam kehidupan yang serba sulit dan sakit, Geissler membagi – bagikan makanan kepada semua orang dan ini membuat penduduk Mansinam terkesan .

Tanggal 18 April 1863, para sending dari Belanda tiba di Dore, nyonya janda Ottow sudah berangkat ke Ternate se hari sebelum nya karena akan melahirkan. Sebelum rombongan ini tiba seorang Gossner yaitu tuan Jaesrich telah membeli barang - barang milik Pdt Ottow dan mendiami rumah tersebut.

Rombongan sending yang datang adalah; Pdt J.L Van Hasselt beserta isterinya tinggal bersama Pdt Jaesrich dan keluarga di Kwawi, sedangkan Pdt Klaasen dan isteri serta Pdt Otterspoor menumpang di rumah Pdt Geissler di Mansinam

9. Kerk der Hopen / Gereja Pengharapan di bangun

Tahun 1864 terjadi gempa bumi yang hebat, kampung dan rumah – rumah para sending rusak, terpaksa para sending harus tinggal di pondok – pondok darurat sehingga semua nya jatuh sakit, mereka harus berangkat ke Ternate untuk berobat, keadaan sungguh - sungguh sangat buruk, karena pekerjaan ini akan dihentikan, selain gempa bumi wabah cacar melanda Mansinam dan Manokwari, namun Geissler tetap bertahan walaupn kadang ia ragu, apakah orang Papua masih mau menerima injil? dalam krisis tahun 1864 itu ia mulai membangun gereja, yang dinamakan “ Kerk der Hopen” (Gereja Pengharapan), yang dapat menampung 300 orang, walaupun paling banyak orang masuk gereja di hari minggu hanya 30 orang saja, dan ketika gedung itu hampir selesai datang angin dan badai yang menghancurkan dinding dan setengah atap nya, peristiwa ini hampir merenggut nyawanya.

Dapatkah pembaca merasakan kekecewaan yang di alami nya atas musibah dan keadaan yang hampir tak pernah ada harapan bagi pekerjaan injil mula – mula? Bukan itu saja ada banyak komentar yang datang dari orang kafir yang dapat memupuskan harapan sang penginjil , namun masih ada secercah harapan di hati Geissler untuk terus membangun sampai selesai dengan baik.

Wabah dan penyakit serta berbagai tantangan yang di alami para pekerja sending tahun 1861 – 1864 datang lagi krisis yang paling buruk dari sebelum nya, gempa bumi, wabah cacar, penduduk memberontak terhadap para sending, mereka bereaksi karena ada kabar Geissler akan cuti, kapal akan tiba di Doreh tiga bulan lagi, penduduk meneruskan rencana mereka mendirikan rumsram (kuil – kuil pemujaan atau rumah iblis ), mendirikan patung – patung melihat kondisi ini Geissler mengirim surat dari Mansinam, katanya “ untuk meratapi kedegilan dan kedurhakaan rakyat ku, penduduk Mansinam, hati ku berdarah, dan sedih bila ku lihat bagaimana mereka mencela dan memijak – mijak injil itu.yang selama 14 tahun telah di dengarnya. Rupanya mereka seolah – olah bersepakat untuk tetap hidup dengan adat – istiadat kunonya yang penuh dosa itu “

10. Masa Perbaikan dan Penaburan benih Injil Tahun 1863

Masa perbaikan dan penaburan benih injil ini diawali dengan meninggalnya Carl Ottow 9 November 1862. Nyonya Ottow meninggalkan Mansinam menuju Ternate tanggal 17 April 1863 karena hendak bersalin, dengan kapal milik tuan Duivenbode.” Kedatangan Utusan Zending dari negeri Belanda dengan Badan Zending UZV (Utrecthse Zendings Vereniging ), yang tiba di teluk Doreh Manokwari tanggal 18 April 1863. dengan kapal de Virgo (Berangkat dari ternate tanggal 23 Maret ) Rombongan UZV itu adalah Pdt.J.L Vanhaselt, Pdt.Klaasen dan Pdt Otterspoor.
Para Pendeta yang datang ini telah dilengkapi dengan Pengetahuan pertukangan dan latar belakang Theologi yang baik. Pdt Jaesrich yang telah belajar bahasa Numfor membantu Geissler di Mansinam dalam ibadah – ibadah dan keteksasi tiap hari di Mansinam dan Kwawi.

Di kemudian hari di utus pula seorang tukang kayu yaitu G.L Bink, untuk membangun rumah – rumah pendeta, gereja, mengajar penduduk mengenai pertukangan dengan menggunakan alat – alat. Kemudian diangkat menjadi pendeta karena kerja dan kesetiaan nya. Salah satu karya nya adalah rumah Gereja Bethel di Mansinam bersebelahan dengan Gereja Lahai Roi ( sekarang tinggal puing ). Pendeta G.L Bink meninggal bersama beberapa putra dan isteri nya di Roon. (Tahun 1870 – 1899) Pdt Kamp (1866 – 1871) adalah seorang pendeta pertanian yang bekerja di Meoswar kemudian bekerja di Andai, dan meninggal sebelum orang Arfak menerima injil dan pengetahuan yang di ajarkan nya.

Diganti Pdt. Woelders yang bekerja untuk orang Arfak, mengajar orang Arfak bercocok tanam kacang merah (Brene Boune) kentang dan sebagai nya, dan mendirikan percetakan buku yang pertama di Andai (1867 – 1892) dibantu Pdt Ruys yang adalah Pendeta Pedagang. (Pendeta dan Nyonya Woelders meninggal di Andai kuburan nya masih ada sampai sekarang di tepi sungai Andai di bawah pohon – pohon langsat )

Pendeta – pendeta yang datang kemudian membantu pekerjaan di sekitar Manokwari, ada yang bekerja di Manokwari, di Andai, pesisir Timur yaitu Wariap, Momi, Syari dan Meoswar hingga sampai ke Windesi dan Yende di pulau Roon.

Ada banyak kesulitan dan tantangan yang dialami pada masa ini seperti ; Penduduk masih tetap hidup dalam kekafiran dan kejahatan; Ottow pernah mengajar bahasa melayu kepada orang Mansinam dan Kwawi (Di sekolah desa) namun akhirnya di tutup karena banyak orang tua protes anak nya belajar bahasa melayu, karena mereka berpikir kalau anak – anak mereka dapat berbicara dalam Bahasa Melayu akan di suruh para pendeta untuk mengantar surat ke kapal – kapal yang masuk di Teluk Doreh, dan ini berbahaya karena gampang anak – anak mereka di larikan ke Ternate. Para pendeta harus belajar Bahasa Numfor sebagai bahasa komunikasi dengan penduduk dan dalam kebaktian – kebaktian.

Menurut catatan penduduk Mansinam berjumlah 300 jiwa, namun yang masuk kebaktian sangat sedikit. Para pendeta selalu mengadakan kebaktian berganti–ganti di Kwawi dan Mansinam (minggu pertama di Mansinam–minggu berikut nya di Kwawi.)

Pekabaran Injil harus dibarengi dengan pemberian materi atau hadiah bagi masyarakat seperti ; tembakau (rokok), pisau dan lain-lain, jika tidak masyarakat tidak bersedia di injili, selain tantangan nya, ada juga keberhasilan yang telah dicapai yaitu ;

Para utusan memiliki keahlian di berbagai bidang sehingga memudahkan kontak dengan masyrakat sebagai sasaran penginjilan. Beberapa anggota masyarakat dapat diambil menjadi “anak piara “ sebagai cikal bakal hasil penginjilan; seperti Timotius Awendu dan Petrus Kafiar yang kemudian hari menjadi guru di kampung halaman nya sendiri; Pada masa ini ada delapan belas orang utusan Zending ke New Guinea, namun dari jumlah tersebut ada enam orang yang meninggal dunia, tiga diantaranya dipulangkan karena masalah kesehatan, tiga orang diberhentikan karena tidak tahan dengan situasi yang sulit pada waktu itu, tiga orang dipindahkan karena kurang sanggup bekerja, dan hanya tiga orang saja yang setia dalam pekerjaan dan bertahan.

Walaupun sudah dua puluh lima tahun bekerja dengan sekuat tenaga dan setia. Dalam masa penaburan benih injil di tanah ini tidak sedikit pengorbanan yang di alami oleh para pelopor Injil di tanah Papua, banyak korban jiwa dan materi namun jumlah orang yang bertobat dan percaya barulah dua puluh dua orang, anda dapat bayangkan betapa sulitnya orang Papua pada saat itu untuk percaya. Kalau di lihat dari angka tersebut berarti satu tahun ada satu orang yang bertobat atau mungkin juga tidak ada sama sekali

11. Aku akan kembali secepatnya

Demikian Geissler dalam suratnya yang terakhir dari New Guinea Barat ,untuk meratapi kedegilan dan kedurhakaan rakyat ku, penduduk Mansinam. “Hatiku berdarah, dan sedih bila kulihat bagaimana mereka mencela dan menginjak – injak injil itu, yang selama 14 tahun telah didengarnya, mereka seolah – oleh telah bersepakat untuk berkeras hati dengan adat- istiadat kunonya yang pe¬nuh dosa itu".
Apakah Geissler putus asa? Karena telah be¬kerja 15 tahun ia akan cuti ke tanah airnya di Jerman. Nampaknya demikian, tetapi dari Ternate dia menulis : “Aku ingin ke New Guinea lagi dari pada ke Jerman". Dan suratnya yang terakhir dari pelabuhan Sint Helena (di sebelah barat Afrika Tengah), berbunyi : “ Aku tidak bermaksud untuk tinggal lama di Eropa, aku kembali secepatnya. Namun rencana itu tidak tercapai .“

Setibanya di tanah Belanda, ia mengunjungi Utrecht pusat Badan Pengurus Zending (UZV) yang dengan penuh penghargaan dan telah mengikuti pekerjaan nya yang melelahkan di Tanah New Guinea, ia diterima dengan rasa haru dan air mata, mereka menamakan nya sebagai Rasul New Guinea / Irian Barat . Namun ia tidak mendapat rencana selanjutnya untuk membicarakan kepentingan pekabaran injil di tanah New Guinea .

Dalam perjalanannya menuju kampung orang tua nya ia menumpang pada kakaknya di Siegen (Wesfalen) dan disini penyakit batuk kering yang sangat pendek merenggut nyawanya dalam beberapa hari sebelum ia berjumpa dengan orang tuanya yang sudah lanjut usia, yang selama 18 tahun tidak pernah bertemu dia.

Pada tanggal 11 Juni 1870 meninggallah “sang Rasul”dan diatas kuburnya diletakkan sebuah batu dengan tulisan J.G.G. sudah pasti tidak ada uang yang cukup untuk memahat namanya pada Nisan yang baik, namun kita sebagai orang percaya dari hasil kerja kerasnya di tanah ini percaya bahwa namanya lengkap tertulis pada kitab kehidupan “Johann Gottlob Geissler".


“SYUKUR YA TUHAN KAMI”
(Hymne GKI di Tanah Papua)

Syukur ya Tuhan kami, sebab Kau koyakkan
Kelam dan awan – awan, kesia – siaan
Dan tanah kami ini ketika tertentu
Di buka bagi firman, terang dan hidup mu

Dahulu kami tunggu suatu dunia
Lengkap didalam diri, yang satu dan baka
Iblis tetap memasang pengharapan semu
Dan kami yang kecewa, tak tahu kasih mu

Ajaiblah sayang Tuhan, kasih Mu yang besar
Mengutus pemberita kebangkitan benar
Dibimbing oleh Yesus yang mati di salib
Tak takut kami lagi rahasia gaib

Rahasia terbuka, teranglah harapan
Dan dosa nenek moyang telah diampunkan
Dan hati yang percaya sekarang barulah
Melihat kerajaan yang satu dan baka

Ya Tuhan, b’ri gereja dan kami inipun
Tetap terbuka hati, setia bertekun
Genapkan pekerjaan di dalam dunia!
Dengarkan doa kami, ya Tuhan datanglah!

(Di sadur dari kabarkampungku.blogspot.com)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IBADAH MINGGU PAGI, MINGGU SENGSARA KE-7, 20 MARET 2016 DI GKI SILOAM SANOBA NABIRE

IBADAH SYUKUR PENAMATAN TK BESAR GKI SILOAM SANOBA TAHUN AJARAN 2018/2019

PEMBUKAAN SIDANG JEMAAT KE-II GKI SILOAM SANOBA NABIRE, KAMIS 28 JANUARI 2016